Feeds:
Posts
Comments

berita media

Pemberitaan deklarasi KNU-AS di sejumlah media massa di Indonesia.

 

Komunitas NU di AS Terbentuk

Boston, Senin – Dunia Islam dan Barat tidak harus dipandang antagonis dan bertentangan, tetapi saling melengkapi dan memperkaya.

Pikiran utama ini mengemuka dalam acara deklarasi pendirian Komunitas Nahdlatul Ulama di Amerika Serikat (KNU-AS) yang berlangsung pada Minggu (29/6) WIB di Boston, Massachusetts, dan digagas sekitar 20 aktivis NU yang kini menyebar di beberapa negara bagian AS.

Empat di antaranya hadir saat deklarasi, yaitu Sumanto Al- Qurtubi dan Achmad Tohe (keduanya mahasiswa PhD di Universitas Boston), Achmad Munjid (mahasiswa PhD di Universitas Temple), dan Ulil Abshar-Abdalla (mahasiswa PhD di Universitas Harvard). Dari kalangan Muhammadiyah hadir Sukidi Mulyadi yang sekarang menempuh program PhD di Universitas Harvard.

Dalam komunikasi Boston-Jakarta, Ulil kepada Kompas mengatakan, ada tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan para deklarator KNU-AS. Pertama, hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai prasangka. Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Ketiga, melemahnya vitalitas NU sebagai ormas keagamaan.

”Islam bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam,” demikian bunyi deklarasi yang dibacakan Ulil.

Meskipun merupakan wadah umat Islam di AS yang memiliki hubungan kultural dan keagamaan dengan tradisi NU, menurut Ulil, KNU-AS berusaha merumuskan identitas ke-NU-an yang terbuka.

Deklarasi sepanjang tiga alinea itu ditutup dengan doa yang dibacakan Sukidi Mulyadi (Muhammadiyah) dan Achmad Munjid (NU).

”Agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerja sama untuk mengembangkan pemahaman Islam yang kontekstual dan progresif di Amerika,” kata Ulil mengenai doa yang dibacakan aktivis dua ormas Islam itu.

Aktivis NU lain yang terlibat dalam persiapan deklarasi ini antara lain Akhmad Sahal (mahasiswa PhD di Universitas Pennsylvania), Syamsul Ma’arif (mahasiswa PhD di Universitas Negara Bagian Arizona), dan Salahuddin Kafrawi, profesor filsafat Islam di William and Hobart College (Geneva, New York).(SAL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/01/00302258/komunitas.nu.di.as.terbentuk 

Sumber: Kompas, 1 Juli 2008

 

Komunitas NU-AS: Islam-Barat Harus Saling Memperkaya

deklarasi

deklarasi

Boston, wahidinstitute.org
Dunia Islam dan Barat tidak harus dipandang secara antagonis dan bertentangan. Keduanya harus saling melengkapi dan memperkaya. Itulah pikiran utama yang mengemuka dalam acara deklarasi berdirinya Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS) hari ini di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.

Sejumlah aktivis NU di AS yang terlibat dalam persiapan pendirian KNU-AS hadir dalam deklarasi ini. Mereka adalah Sumanto Al Qurtuby dan Achmad Tohe, keduanya adalah mahasiswa PhD Boston University, Achmad Munjid, mahasiswa PhD di Temple University, dan Ulil Abshar Abdalla, mahasiswa PhD Harvard University.

“Bagi kami, hubungan dunia Islam dan Barat tidak harus antagonis. Islam justru bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam,” demikian bunyi deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla.

“Bagi kami, keindonesiaan dan keislaman bersifat saling melengkapi dan memperkaya,” tegas deklarasi itu (lihat: Deklarasi Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat- KNU AS).

Prof. Salahuddin Kafrawi, aktivis NU yang sekarang menjadi Profesor Filsafat Islam di William and Hobart College, Geneva, New York, mendukung pemikiran tersebut. Dalam pandangan Prof. Kafrawi yang juga salah satu deklarator KNU-AS itu, identitas keislaman dan keamerikaan juga tak harus dipertentangkan. Keduanya bisa saling berdialog secara produktif.

Ada tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan para deklator KNU-AS. Pertama, hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai oleh prasangka. Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Ketiga, melemahnya vitalitas Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan.

Dalam pandangan Achmad Munjid, aktivis NU yang menjadi salah satu motor utama KNU-AS ini, visi keislaman NU kurang berhasil diterjemahkan dalam konteks masyarakat modern. Visi keislaman yang ditawarkan oleh “gerakan-gerakan Islam baru” tampaknya jauh lebih memikat generasi Islam sekarang.

“Tantangan NU adalah bagaimana melakukan kontekstualisasi visi keislaman ala NU dalam konteks yang sudah berubah saat ini,” tegas Munjid.

“Dengan berdirinya KNU-AS ini, kami juga hendak menyumbangkan gagasan-gagasan segar dalam wacana keislaman di tanah air,” tambah Munjid lagi.

Meskipun merupakan wadah umat Islam Amerika Serikat yang memiliki hubungan kultural dan keagamaan dengan tradisi NU, namun KNU-AS berusaha merumuskan identitas ke-NU-an yang terbuka.

“Kami mendefinisikan diri sebagai umat Islam dalam tradisi Sunni, Asy’ari, dan mazhab empat, namun terbuka pada keragaman sekte, aliran dan mazhab-mazhab yang ada dalam masyarakat Islam, baik di Amerika, Indonesia, atau dunia Islam secara umum,” tegas Achmad Tohe, aktivis NU yang sekarang sedang menempuh program PhD di Boston, University.

“Kami ingin mempertahankan tradisi Asy’ariyah dan mazhab empat, tetapi kami juga ingin agar tradisi itu terbuka pada kemungkinan tafsir baru,” kata Syamsul Ma’arif, mahasiswa PhD di Arizona State University.

Dalam kesempatan itu, Prof Kustim Wibowo juga menyampaikan pandangannya. Dia mengakui bahwa negara yang penduduknya sebagian besar muslim hidup dalam taraf perekonomian yang kurang layak dan ketidak-teraturan.

“Selain itu, kita juga harus mengakui tindakan sebagian kecil warga muslim melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan anarkis yang menimbulkan kekacauan, ketidak-amanan, dan kekejaman,” kata Prof Kustim yang kini menjabat Ketua Departemen Manajemen Sistem Informasi di Eberly College-Indiana University of Pennsylvania.

Tindakan dan keadaaan itu, kata Prof Kustim, menimbulkan sikap prejudice di kalangan warga di Dunia Barat terutama terhadap warga non muslim-nya. “Dunia Barat melihat Islam sebagai suatu simbol keterbelakangan dan kebengisan. Sebaliknya, sebagian besar warga muslim menganggap Dunia Barat sebagai suatu simbol kemajuan dan etika,” katanya.

Menurut Kustim, Padahal Islam yang mengajarkan dan memperkenalkan Dunia Barat dasar-dasar ilmu pengetahuan, etika, dan spiritual, yang sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw, para sahabat, para khalifah, dan cendekiawan Islam.

”Jadi, tidak lah berlebihan jika kita harus mengedepankan nilai-nilai Islam dalam berinteraksi dengan Dunia Barat,” tegas Prof Kustim.

Dia pun berharap agar KNU-AS dapat menyejajarkan Dunia Islam dan Barat. KNU-AS yang hidup dan berada di Dunia Barat diharapkan menjadi ujung tombak untuk meningkatkan usaha-usaha pengentasan kemiskinan dan pendidikan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia, serta peningkatan hubungan harmonis antara Dunia Islam dan Barat.

Yang terpenting, KNU-AS dapat memberikan tauladan tentang sikap damai (salam), menjunjung nilai-nilai kekeluargaan, bersikap dermawan (zakat dan amal jariyah) untuk kepentingan umat manusia, menanamkan etos kerja, dan menunjukkan nilai-nilai perekonomian dan perdagangan dalam perspektif Islam.

“Dengan semangat kebersamaan dan perdamaian, InsyaAllah KNU-As dapat berperan serta dalam mewujudkan nilai-nilai keIslaman dalam kehidupan sehari-hari dimanapun berada tanpa memandang ras, bangsa, agama, dan budaya,” pungkas Prof Kustim.

Deklarasi ini juga dihadiri oleh Sukidi Mulyadi, pemikir muda Muhammadiyah yang sekarang menempuh program PhD di Harvard University, dan Jajang Jahroni, mahasiswa PhD di Boston University.

Deklarasi ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Sukidi Mulyadi yang mewakili Muhammadiyah dan Akhmad Munjid yang mewakili NU.

“Agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerjasama untuk mengembangkan pemahaman Islam yang kontektual dan progresif di Amerika,” tegas Ulil mengomentari doa yang dibacakan dua wakil dari ormas besar Islam di Indonesia itu.

Sejumlah aktivis NU di AS terlibat dalam persiapan pendirian organisasi ini. Mereka adalah Sumanto Al Qurtuby (mahasiswa PhD Boston University), Achmad Munjid (mahasiswa PhD Temple University), Achmad Tohe (mahasiswa PhD Boston University), Muhammad Abdun Nasir (mahasiswa PhD Emory University), Kustim Wibowo (Ketua Departemen Manajemen Sistem Informasi di Eberly College-Indiana University of Pennsylvania), Akhmad Sahal (mahasiswa PhD University of Pennsylvania), Ahmad Rafiq (mahasiswa PhD Temple University), Syamsul Ma’arif (mahasiswa PhD Arizona State University), Munajat (mahasiswa PhD Texas A & M University), Salahuddin Kafrawi (Professor Filsafat Islam di William and Hobart College, Geneva, New York), Dadi Darmadi (mahasiswa PhD Harvard University), Ulil Abshar-Abdalla (mahasiswa PhD Harvard University), Saiful Umam (mahasiswa PhD University of Hawaii at Menoa), Hasan Basri (visiting fellow di Temple University), dan Mustaghfiroh Rahayu (mahasiswa MA di Florida International University, Miami).

http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/775/54/

Sumber: website Wahid Institute

 

NU community founded in U.S.

BOSTON, Massachusetts: Nahdlatul Ulama (NU) youth activists in the United States have founded a community that aims to help bridge understanding between Islam and the West.

Initiators of the NU community include Sumanto Al-Qurtubi and Achmad Tohe, both PhD candidates at Boston University, Achmad Munjid, PhD candidate at Temple University, and Ulil Abshar Abdalla, PhD candidate at Harvard University.

“Antagonism does not necessarily mark relations between Islam and the West. Islam can positively contribute to the West and the other way round instead,” the students said in a statement read out in a gathering here recently.

A number of young up-and-coming members from Muhammadiyah were also present.

The students expressed their concerns about the prejudice that still prevailed in Islam-West relations, the erosion of nationalism and statesmanship among Indonesian people and the weakening of NU as a religious organization–JP.

http://old.thejakartapost.com/detailnational.asp?fileid=20080705.D05&irec=4

Sumber: The Jakarta Post, 6 Juli 2008

 

NU Hadir di AS

BOSTON, BPOST – Dunia Islam dan Barat tidak harus dipandang antagonis dan bertentangan, tetapi saling melengkapi dan memperkaya.

Pikiran utama ini mengemuka dalam acara deklarasi pendirian Komunitas Nahdlatul Ulama di Amerika Serikat (KNU-AS) yang berlangsung di Boston, Massachusetts, Minggu (29/6). KNU-AS digagas sekitar 20 aktivis NU yang kini menyebar di beberapa negara bagian AS.

Empat di antaranya hadir saat deklarasi, yaitu Sumanto Al- Qurtubi dan Achmad Tohe (keduanya mahasiswa PhD di Universitas Boston), Achmad Munjid (mahasiswa PhD di Universitas Temple) dan Ulil Abshar-Abdalla (mahasiswa PhD di Universitas Harvard). Dari kalangan Muhammadiyah hadir Sukidi Mulyadi yang sekarang menempuh program PhD di Universitas Harvard.

Dalam komunikasi Boston-Jakarta, Ulil mengatakan ada tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan para deklarator KNU-AS. Pertama, hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai prasangka.

Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Ketiga, melemahnya vitalitas NU sebagai ormas keagamaan.

“Islam bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam,” demikian bunyi deklarasi yang dibacakannya.

Meski merupakan wadah umat Islam di AS yang memiliki hubungan kultural dan keagamaan dengan tradisi NU, menurut Ulil, KNU-AS berusaha merumuskan identitas ke-NU-an yang terbuka.

Deklarasi sepanjang tiga alinea itu ditutup dengan doa yang dibacakan Sukidi dan Achmad Munjid.

“Agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerja sama untuk mengembangkan pemahaman Islam yang kontekstual dan progresif di Amerika,” kata Ulil mengenai doa yang dibacakan aktivis dua ormas Islam itu.

Aktivis NU lain yang terlibat dalam persiapan deklarasi ini antara lain Akhmad Sahal (mahasiswa PhD di Universitas Pennsylvania), Syamsul Ma’arif (mahasiswa PhD di Universitas Negara Bagian Arizona), dan Salahuddin Kafrawi, profesor filsafat Islam di William and Hobart College (Geneva, New York). (kps/ant)

http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/38837/627/ 

Sumber: Banjarmasin Post, 2 Juli 2008

 

 

Press Release

KOMUNITAS NU AMERIKA SERIKAT: ISLAM-BARAT HARUS SALING MEMPERKAYA

Boston (29 Juni 2008)—Dunia Islam dan Barat tidak harus dipandang secara antagonis dan bertentangan. Keduanya harus saling melengkapi dan memperkaya. Itulah pikiran utama yang mengemuka dalam acara deklarasi berdirinya Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS) pada hari Minggu, 29 Juni 2008 di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.

Sejumlah aktivis NU di AS yang terlibat dalam persiapan pendirian KNU-AS hadir dalam deklarasi ini. Mereka adalah Sumanto Al-Qurtubi dan Achmad Tohe, keduanya adalah mahasiswa PhD Boston University, Achmad Munjid, mahasiswa PhD di Temple University, dan Ulil Abshar Abdalla, mahasiswa PhD Harvard University.

“Bagi kami, hubungan dunia Islam dan Barat tidak harus antagonis. Islam justru bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam,” demikian bunyi deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla.

“Bagi kami, keindonesiaan dan keislaman bersifat saling melengkapi dan memperkaya,” tegas deklarasi itu lebih lanjut.

Prof. Salahuddin Kafrawi, aktivis NU yang sekarang menjadi profesor filsafat Islam di William and Hobart College, Geneva, New York, mendukung pemikiran tersebut. Dalam pandangan Prof. Kafrawi yang juga salah satu deklarator KNU-AS itu, identitas keislaman dan keamerikaan juga tak harus dipertentangkan. Keduanya bisa saling berdialog secara produktif.

Seperti diungkapkan oleh Sumanto al-Qurtuby yang memberikan pengantar sebelum pembacaan deklarasi, ada tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan para deklator KNU-AS. Pertama, hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai oleh prasangka. Kedua, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan. Ketiga, melemahnya vitalitas Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan.

Dalam pandangan Achmad Munjid, aktivis NU yang menjadi salah satu motor utama KNU-AS ini, visi keislaman NU kurang berhasil diterjemahkan dalam konteks masyarakat modern. Visi keislaman yang ditawarkan oleh “gerakan-gerakan Islam baru” tampaknya jauh lebih memikat generasi Islam sekarang.

“Tantangan NU adalah bagaimana melakukan kontekstualisasi visi keislaman ala NU dalam konteks yang sudah berubah saat ini,” tegas Munjid.

“Dengan berdirinya KNU-AS ini, kami juga hendak menyumbangkan gagasan-gagasan segar dalam wacana keislaman di tanah air,” tambah Munjid lagi.

Meskipun merupakan wadah umat Islam Amerika Serikat yang memiliki hubungan kultural dan keagamaan dengan tradisi NU, namun KNU-AS berusaha merumuskan identitas ke-NU-an yang terbuka.

“Kami mendefinisikan diri sebagai umat Islam dalam tradisi Sunni, Asy’ari, dan mazhab empat, namun terbuka pada keragaman sekte, aliran dan mazhab-mazhab yang ada dalam masyarakat Islam, baik di Amerika, Indonesia, atau dunia Islam secara umum” tegas Achmad Tohe, aktivis NU yang sekarang sedang menempuh program PhD di Boston, University.

“Kami ingin mempertahankan tradisi Asy’ariyah dan mazhab empat, tetapi kami juga ingin agar tradisi itu terbuka pada kemungkinan tafsir baru,” kata Syamsul Ma’arif, mahasiswa PhD di Arizona State University.

Deklarasi ini juga dihadiri oleh Sukidi Mulyadi, pemikir muda Muhammadiyah yang sekarang menempuh program PhD di Harvard University, dan Jajang Jahroni, mahasiswa PhD di Boston University.

Deklarasi ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Sukidi Mulyadi yang mewakili Muhammadiyah dan Achmad Munjid yang mewakili NU.

“Agar NU dan Muhammadiyah bisa bekerjasama untuk

mengembangkan pemahaman Islam yang kontekstual dan progresif di Amerika,” tegas Ulil mengomentari doa yang dibacakan dua wakil dari ormas besar Islam di Indonesia itu.

Sejumlah aktivis NU di AS terlibat dalam persiapan pendirian organisasi ini. Mereka adalah Sumanto Al Qurtuby, mahasiswa PhD Boston University, Achmad Munjid, mahasiswa PhD Temple University, Achmad Tohe, mahasiswa PhD Boston University, Muhammad Abdun Nasir, mahasiswa PhD Emory University, Kustim Wibowo, ketua Departemen Manajemen Sistem Informasi di Eberly College-Indiana University of Pennsylvania, Akhmad Sahal, mahasiswa PhD University of Pennsylvania, Ahmad Rafiq, mahasiswa PhD Temple University, Syamsul Ma’arif, mahasiswa PhD Arizona State University, Munajat, mahasiswa PhD Texas A & M University, Salahuddin Kafrawi, professor filsafat Islam di William and Hobart College (Geneva, New York), Dadi Darmadi, mahasiswa PhD Harvard University, Ulil Abshar-Abdalla, mahasiswa PhD Harvard University, Saiful Umam, mahasiswa PhD University of Hawaii at Menoa, Hasan Basri, visiting fellow di Temple University, dan Mustaghfiroh Rahayu, mahasiswa MA di Florida International University, Miami.****

Deklarasi Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS)

 

Bismillahirrahmanirahim

 

Di tengah hubungan dunia Islam-Barat yang masih diwarnai prasangka, kehidupan berbangsa dan bernegara yang memprihatinkan, dan melemahnya vitalitas Nahdlatul Ulama sebagai ormas sosial keagamaan, dengan ini kami warga NU di Amerika Serikat  bertekad untuk membentuk sebuah komunitas sebagai bagian dari kontribusi dan ikhtiar kami dalam mengatasi ketiga persoalan utama tersebut.

 

Bagi kami, hubungan dunia Islam dan Barat tidak harus antagonis. Islam mampu memberikan kontribusi positif bagi dunia Barat. Begitu pula perjumpaan dunia Islam-Barat bisa memberikan kontribusi positif bagi dunia Islam.  Bagi kami, keindonesiaan dan keislaman bersifat saling melengkapi dan memperakaya. Untuk itu, komunitas ini dibentuk dalam rangka menampung aspirasi warga NU di Amerika Serikat guna mewujudkan tujuan dimaksud.

 

Dengan rahmat Allah SWT serta dukungan segenap warga NU di manapun berada, pada hari ini kami mendeklarasikan berdirinya Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat.

 

 

Boston, 29 Juni 2008/25 Jumadil Akhir 1429